Oleh Dr Socrates Yoman, MA
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua
PERISTIWA pembakaran pesawat Susi Air Pilatus Porter PC6/PK-BVY dan menahan Capt Pilot Philip Marthens pada 7 Februari 2013 di Distrik Paro, Ndugama yang dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai peristiwa pengulangan saja. Bukan peristiwa baru yang mengejutkan kita semua.
Sebelumnya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) membakar pesawat MAF PK-MAX dipiloti Capt Alex Luferchek, berkebangsaan Amerika pada 6 Januari 2020 di Bandara Kampung Pagamba, Distrik Biandaga, Intan Jaya, Papua. Pesawat yang dibakar TPNPB itu ada dua orang penumpang.
Ada juga peristiwa penembakan yang menyebabkan kematian Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha pada 25 April 2020 di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Sampai saat ini masih misteri siapa penembak sang jenderal ini. Negara menuduh pelakunya ialah pasukan TPNPB.
Ada peristiwa hampir sama penyerangan pos TNI di Kampung Kisor, Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat. Penyerangan pada Kamis 21 September 2021 itu menewaskan empat anggota TNI-AD. Keempat anggota TNI-AD yang ditemukan meninggal tersebut masing-masing Serda Amrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari, dan Lettu Chb Dirman.
Pertanyaan
Dari benang kekerasan ini, timbul pertanyaan kunci yang saya ajukan dalam tulisan ini. Pertanyaan ini saya sampaikan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada pasukan TPNPB yang berdiri kokoh dan gigih berjuang untuk hak penentuan nasib sendiri rakyat dan bangsa Papua Barat.
Pertama, apakah benar pembakaran pesawat MAF PK-MAX pada 6 Januari 2020 di Distrik Biandaga, Intan Jaya dan pembakaran pesawat Susi Air Pilatus Porter PC6/PK-BVY pada 7 Februari 2023 di Distrik Paro, Nduga, itu murni dilakukan oleh pasukan TPNPB?
Kedua, apakah tangan pasukan TPNPB dipinjam oleh pihak lain untuk membakar pesawat MAF PK-MAX pada 6 Januari 2020 di Biandaga dan pembakaran pesawat Susi Air Pilatus Porter PC6/PK-BVY pada 7 Februari 2023 di Paro?
Ketiga, apakah benar penembakan terhadap Kepala BIN Daerah Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha di Beoga pada 25 April 2020 dilakukan pasukan TPNPB?
Keempat, apakah benar penembakan empat anggota TNI Serda Amrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari, dan Lettu Chb Dirman di Kisor, Aifat pada 21 September 2021 dilakukan oleh pasukan TPNPB?
Kelima, apakah benar Abraham Tatemte dan Melkias Ky yang ditangkap TNI dan polisi dan sedang diproses di Pengadilan Negeri adalah pelaku atau terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan empat anggota TNI: Serda Amrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari, dan Lettu Chb Dirman di Kisor, Distrik Aifat pada 21 September 2021?
Keenam, ada apa meski ribuan pasukan TNI organik, non organik dikirim ke Papua dari waktu ke waktu untuk menghadapi pasukan TPNPB yang sangat minim ketrampilan, persenjataan, jumlah anggotanya dan tidak ada peralatan canggih, tetapi pasukan TPNPB masih ada sampai sekarang?
Enam pertanyaan kunci dan utama ini kita bandingkan dengan kutipan pandangan Dr George Junus Aditjondro (Alm) berikut. “…Jadi yang menghidupkan OPM juga tentara. Sekali lagi, maksudnya adalah biar ada uang operasi yang bos-bos atau jenderal-jenderalnya bisa makan. Kalau yang prajurit-prajurit, makannya cukup hasil tukar burung kuning. Yang bos-bos, makan jutaan duit operasi.”
George melanjutkan, “…kalau tidak ada situasi genting, maka tidak akan keluar uang dari negara…. Salah satu problem yang sering menghantui rakyat Papua, yaitu ‘OPM bayaran’ atau ciptaan aparat. OPM bayangan bentukan ini tidak segera dihilangkan maka keberadaan Papua sebagai bagian terpadu dari Negara Kesatuan Republik Indonesia akan terus dipermasalahkan atau digugat…” (George, 2000: 174, 175).
Enam pertanyaan kunci yang saya ajukan ini sangat mengganggu pikiran dan hati nurani saya selama ini. Pasalnya, mengingat banyak peristiwa krisis kemanusiaan dan ketidakadilan di tanah Papua yang berkepanjangan dan juga banyak korban nyawa manusia dari pihak rakyat sipil penduduk orang asli Papua (OAP), saudara-saudara pendatang dan juga anggota TNI-Polri.
Kita semua bisa tahu siapa pelaku sesungguhnya secara adil, benar, jujur dan transparan apabila peristiwa penembakan Jenderal Gusti Putu Puncak, penembakan 4 anggota TNI di Maybrat, pembakaran pesawat di Intan Jaya, pembakaran pesawat di Nduga diinvestigasi oleh tim independen yang kredibel.
Selama ini rakyat Papua, rakyat Indonesia dan komunitas internasional mengkonsumsi informasi yang disebarkan dari satu pihak yaitu dari pihak pemerintah, TNI dan Polri.
Aneka tujuan
Kalau diteliti secara cermat, seluruh kekerasan dan kejahatan ini sepertinya kanker kejahatan “by design” untuk beberapa tujuan sebagai berikut.
Pertama, upaya sistematis untuk pengusiran penduduk orang asli Papua (OAP) dari tanah leluhur supaya tanah yang dikosongkan itu diambil oleh kaum kapitalis atau kaum pemodal untuk operasi kapitaliame dalam pertambangan emas dan minyak. Kaum kapitalis dan pemodal pasti dilindungi oleh militer dan kepolisian dengan alasan perusahaan aset vital negara.
Kedua, tanah dikosongkan oleh penduduk OAP itu dibangun markas militer dan kepolisian yang lebih luas, pembangunan Kodam dan Polda dengan alasan wilayah tidak aman dan untuk melindungi rakyat.
Ketiga, wilayah atau kampung-kampung yang dikosongkan itu didatangkan penduduk dari Indonesia untuk menduduki dan menempati kampung-kampung yang sudah kosong. Dengan jelas dan pasti TNI dan Polri menjadi penjaga dan pelindung orang-orang pendatang itu.
Keempat, kekerasan ini juga bertujuan untuk memberikan label ‘teroris” kepada penduduk OAP, terutama kepada para pejuang keadilan, hak politik, kesamaan derajat, martabat kemanusiaan dan perdamaian.
Kelima, kekerasan ini juga mempunyai tujuan untuk menutupi kekerasan dan kejahatan negara selama ini yang menyebabkan pelanggaran HAM berat yang sudah menjadi persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan di berbagai forum internasional, termasuk dalam forum PBB. Penguasa Indonesia berusaha mencuci tangan dengan menghilangkan kekerasan negara dan dituduhkan kepada pasukan TPNPB.
Keenam, kekerasan dan kejahatan ini bagian integral yang tak terpisahkan dari pemusnahan etnis penduduk OAP secara sistematis, terstruktur, terpogram, terpadu, masif, dan kolektif yang dilakukan negara.
Akhirnya, disimpulkan bahwa solusi militer tentang persoalan Papua selama 62 tahun sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang ini belum pernah menyelesaikan akar persoalan Papua. Malah sebaliknya, memperpanjang kekerasan dan kejahatan negara yang mengakibatkan penderitaan penduduk orang asli Papua. Doa dan harapan penulis, para pembaca mendapat pencerahan. Selamat membaca. Tuhan memberkati.