Oleh Manuel Kaisiepo
Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia 2000-2004
NANTI malam (18/12) di Stadion Lusail, Qatar, akan berlangsung final Piala Dunia 2022 antara tim nasional Prancis dan Argentina. Perhatian pecinta bola sejagad akan tertuju ke penampilan dua megabintang, Lionel Messi dan Kylian Mbappe.
Dalam final Piala Dunia 2018 lima tahun sebelumnya, tepatnya 15 Juli 2018 di Stadion Luzhniki, Moskwa, tim Prancis, Les Bleus yang didominasi para pemain keturunan migran, tampil perkasa sebagai juara, mengalahkan Kroasia, 4-0. Prancis mengukir sejarah! Tapi juga seakan mengulang sejarah kegemilangan mereka!
Sebab sehari sebelumnya, 14 Juli, Prancis merayakan hari nasional Bastille (disebut juga Le quatorze Julliet), sebagai peringatan tonggak historis penyerbuan penjara Bastille, 14 Juli 1708, awal dari Revolusi Prancis 1789-1794. Inilah revolusi yang ikut meletakkan dasar keadaban masyarakat demokratis modern lewat semboyannya, liberte, egalite, fraternite! (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan).
Dan pada hari itu juga, 14 Juli 2018, sehari jelang final Piala Dunia 2018, badan dunia PBB resmi menetapkan suatu dokumen penting tentang kesepakatan migrasi global yang ditandatangani 192 negara anggotanya.
Sekjen PBB Antonio Guterres menyebut dokumen itu sebagai sukses besar dan migrasi harus diakui sebagai “fenomena global yang positif”.
Apakah semua rentetan peristiwa itu hanya kebetulan? Memang seperti kebetulan belaka, tapi sebenarnya semuanya terkait erat satu dengan lainnya.
Bagi sebagian warga Prancis yang ‘religius’ (yang minoritas jumlahnya), kemenangan tim Les Bleus bersamaan dengan peringatan momentum penting sejarah mereka, bukanlah kebetulan belaka.
Semua itu adalah ‘Providentia Dei’, suatu penyelenggaraan Illahi! Walaupun sebagian besar warga Prancis lebih percaya ucapan legenda sepakbola Belanda Johan Crryuff, “….tidak ada Tuhan di lapangan sepak bola….!”.
Terlepas dari soal itu, keterkaitan antara kebijakan nasional mewujudkan masyarakat multikultural sesuai spirit liberte, egalite, fraternite berkorelasi positif terhadap prestasi olahraga Prancis, terutama sepakbola.
Keperkasaan tim Les Bleus —di luar sisi profesionalismenya— adalah juga hasil dari proses lama pembinaan olahraga dengan kesadaran tentang pentingnya proses pengintegrasian kaum muda migran (yang terus bertambah jumlahnya) ke dalam masyarakat Prancis yang multiktural.
Para migran di Prancis berasal dari berbagai negara “Dunia Ketiga”, terutama dari bekas jajahan Prancis yang kemudian merdeka menjadi ‘post-colonial state’, misalnya Aljazair, Maroko, dan beberàpa negara di Afrika.
Maka tak heran, Les Bleus bukan saja tim yang ‘colourful’ dengan bendera tiga warna, tricolore, tapi juga tim yang paling majemuk secara ras, bahkan didominasi pemain-pemain keturunan migran sejak dulu.
Sebut saja sang legenda, Zidane. Juga Abidal, Dessaily, Malouda, Thiery, atau Thuram, migran asal Karibia yang sudah 142 kali memperkuat timnas Prancis.
Mereka adalah bintang-bintang kebanggaan masa lalu yang akan terus hidup dalam kenangan dan dihormati rakyat Prancis.
Tim Prancis di Piala Dunia 2018 dan Piala Dunia 2022 kali ini juga tetap didominasi pemain keturunan migran, dengan bintang baru Kylian Mbappe. Lebih dari setengah pemain tim Les Bleus adalah keturunan migran!
Memang kenyataan ini bukannya tanpa tantangan. Beberapa waktu lalu pernah sekelompok warga “asli” Prancis, termasuk politisi ultranasionalis Jean-Marie Le Pen yang bersikap rasis, mengecam organisasi sepakbola Prancis, Federation Francaise de Football (FFF) karena banyaknya pemain migran tersebut.
Rasialisme dan diskriminasi tetap ada sekalipun terbatas dalam masyarakat Prancis yang multikultural. Juga ada di beberapa negara Eropa, bahkan di Amerika, negara “kampiun” HAM dan demokrasi, terutama pada era Donald Trump.
Kecenderungan rasis oleh Trump (juga migran dari Jerman) memang mewakili sikap rasis sebagian kaum kulit putih Amerika dan Eropa.
Sejak 2015 sikap rasis ini semakin meluas ketika menyatu dengan fenomena populisme kanan yang mencuat di beberapa negara Eropa. Di Prancis tokohnya Le Pen, di Belanda ada Geert Wilder, di Italia ada Matheo Salvini, dan di Jerman ada Host Seehofer.
Sebagian di antara para tokoh populisme kanan inilah yang bertemu di Koblenz, Jerman, Januari 2017, dan mendeklarasikan tekad mengukuhkan populisme kanan yang rasialis itu. Pertemuan Koblenz ini kemudian dikecam luas karena dinilai sebagai upaya “Fasisme Baru” !
Memang faktor migrasi besar-besaran ke Amerika dan Eropa menjadi salah satu pemicu munculnya sikap rasialis sebagian warga kulit putih. Tapi bukankah ini fenomena sejarah yang berulang?
Dulu semboyan “3-G”: God, Glory, Gold memicu bangsa-bangsa kulit putih menjarah benua Amerika, Afrika, dan Asia, melahirkan imperialisme dan kolonialisme.
Sejarah berulang, tapi kebalikannya!
Kini giliran gelombang migran warga bekas koloni Eropa di Afrika, Timur Tengah, dan Asia berbondong-bondong menyerbu Amerika dan Eropa. Dan kini orang mulai bicara tentang fenomena “Afrikanisasi” atau “Asianisasi”, seperti halnya “Hispanisasi” atau “Latinisasi” Amerika.
Maka bukan kebetulan kalau PBB pada 14 Juli 2018 (sehari jelang final Piala Dunia 2018) meresmikan dokumen migrasi dan menyebut migrasi sebagai “fenomena global yang positif”!.
Namun di sisi lain, masih tetap ada upaya untuk membendung fenomena sejarah yang berulang ini. Maka di Eropa muncul orang macam Le Pen atau Wilder yang anti migran, anti kulit berwarna. Populisme kanan itu sudah menebarkan ancaman fasisme baru!
Keperkasaan Les Bleus —yang didominasi pemain migran— adalah juga wujud keperkasaan spirit multikulturalisme sebagai perwujudan nilai-nilai Revolusi Prancis: “kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan”!
Jadi ingat Zidane, anak migran asal Aljazair. Seperti halnya Mbappe sekarang, Zidane bukan sekadar legenda sepak bola. Penulis terkemuka Jean-Philippe Toussaint, penulis Melancolie Zidane bahkan menyamakan Zidane dengan Voltaire, filsuf terkemuka Prancis Abad Pencerahan.
Zidane dulu dan Mbappe sekarang, bersama para pemain keturunan migran lainnya, bukan saja membuat Les Bleus berjaya sebagai juara dunia, tapi juga membuat dunia menyadari arti kekuatan sebuah tim multikultural.
Mereka bukan hanya atlit sepakbola tapi juga duta-duta sekaligus simbol multikulturalisme, yang ikut memberdayakan dan memperkaya Prancis dan imperium sepakbola sejagad.
Bersamaan dengan penandatangan dokumen PBB 14 Juli 2018 tentang migrasi yang sekaligus menilai migrasi sebagai “fenomena global positif”, rasanya kita semua perlu juga membaca buku Gregory Friedman, We Are All Migrants!
Sumber: Fb Manuel Kaisiepo