Guru: Melayani Dalam Cahaya Kebenaran - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Guru: Melayani Dalam Cahaya Kebenaran

Ben Senang Galus, dosen Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta dan Penulis buku. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ben Senang Galus

Dosen Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta

GURU berasal dari kata bahasa Latin Magistra, yang secara leksikon berarti “datanglah kemari belajarlah menjadi bijak”. Dalam bahasa Sanskerta, kata guru berarti “berat” yang bermakna seorang pengajar suatu ilmu, karena dalam diri seorang guru terkandung sejumlah pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri adalah kekuasaan (scientia potestat est).

Pengertian di atas merujuk pada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, kelak akan menjadi bijaksana. Untuk mencapai ke arah tersebut guru semestinya memiliki kemampuan mendesain pendidikan yang efektif mengembangkan kultur pembelajaran yang otentik agar peserta didik bertahan hidup dan bersaing di tengah tantangan global dan revolusi industri 4.0 maupun era society 5.0.

Para pengkritik pendidikan menilai, kualitas pembelajaran anak-anak kita tidak otentik karena sistem kurikulum kita saat ini mengunci proses pembelajaran mematikan kreativitas dan inovasi pelajar. Kurikulum membebani pendidik dan peserta didik dengan banyak mata pelajaran, luasnya isi materi pembelajaran, sehingga tidak memiliki prioritas apa yang dianggap penting dalam setiap tahap dalam proses pendidikan (Doni Kusuma, 2019).

Robert Coe, Cesare Aloisi, Steve Higgins dan Lee Elliot Major dari Durham University, United Kingdom, dalam tulisan mereka berjudul What Makes Great Teaching? Review of the Underpinning Research (2006), mengungkapkan, setidaknya terdapat enam komponen yang bisa membuat proses pembelajaran menjadi sebuah proses yang sangat berhasil.

Dalam istilah Coe, proses pembelajaran tersebut dinamakan great teaching (mengajar yang hebat) karena menghasilkan outcome atau sekurang-kurangnya enem kompnen pembelajaran luar biasa dilihat dari berbagai ukuran kompetensi dasar dan indikator kompetensi.

Keenam komponen tersebut adalah (i) pedagogical content of learning; (ii) quality of instruction (iii), classroom climate; (iv) classroom management; (v) teacher belief, dan (vi) professional behaviours. Pedagogical content of learning (PCL) merupakan komponen pertama yang berkontribusi sangat kuat terhadap pencapaian kompetensi siswa. Ia menjadi aplikasi pedagogik yang sangat khusus (subject specific pedagogic) sesuai dengan kebutuhan pokok bahasa.

Dengan demikian, ungkap Coe, pedagogi merupakan komponen utama yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pembelajaran dan memberikan strong impact on students outcome, sehingga menjadi sebuah proses yang hebat, baik dalam mendorong partisipasi siswa maupun dalam mencapai kompetensi ideal akhir mereka.

Dijelaskan Coe, guru yang paling efektif dan dapat melahirkan proses pembelajaran hebat adalah mereka yang sangat menguasai bahan ajar, mampu mengembangkan proses pembelajaran sesuai dengan bahan yang diajarkan, bisa memahami cara berfikir siswa terhadap bahan ajar yang mereka terima, dapat melakukan evaluasi, dan bahkan mampu mengidentifikasi terhadap berbagai miskonsepsi para siswa terhadap bahan yang baru mereka pelajari.

Selanjutnya, quality instruction (QI). Sebagaimana halnya PCL, QI merupakan salah satu komponen yang memberikan dampak kuat terhadap hasil pembelajaran mahasiswa (strong impact on student outcome).

Pada hakikatnya QI merupakan metode dan strategi pembelajaran karena berada pada wilayah proses instruksional (instructional process). Hanya saja Coe memberikan catatan tentang pentingnya pretest dan post test yang perlu dilakukan di awal dan di akhir jam pelajaran, termasuk mengkomunikasikan seluruh skenario pembelajaran.

Dengan demikian, QI mencakup seluruh proses pembelajaran dari awal sampai akhir “termasuk menentukan macam-macam aktivitas belajar siswa”, memberikan tugas-tugas dan menjelaskan tentang praktikum yang harus mereka lalui dalam proses pembelajarannya.

Atas dasar itu, QI menjadi pedagogical approach yang sangat besar kontribusinya terhadap pencapaian kompetensi hasil belajar siswa, menjadikan proses belajar sebagai sebuah proses yang hebat karena mendorong aktivitas para siswa, dan mencapai seluruh kompetensi yang direncanakan (Prof Dr Dede Rosyada, MA, 2016)

Dalam prakteknya, implementasi QI membutuhkan dukungan classroom climate (CC) dan classroom management (CM) yang baik, termasuk teacher belief dan professional behaviour dari para pendidik (guru dan dosen).

Dalam hal hal ini, CC didefinisikan sebagai kualitas interaksi antara siswa dengan guru, harapan guru terhadap para siswa, penghargaan guru terhadap siswa. Inilah paradigma baru dalam pendidikan, yakni paradigma penghargaan, bukan reward and punishment.

Apapun adanya, siswa harus dihargai oleh guru yang mengajarnya bukan dihukum, apalagi dengan hukuman tidak naik kelas. Siswa yang memperoleh nilai buruk, bahkan tidak bisa naik kelas, bukan merupakan kesalahan siswa semata, melainkan juga guru karena tidak mampu mendorong para siswanya belajar dengan baik.

Sementara itu, fungsi CM adalah membuat kelas menjadi sangat efisien, baik dalam pengaturan waktu belajar, tata ruang kelas, maupun pengaturan tentang sikap dan prilaku belajar siswa di dalam kelas bersama per group–nya atau bersama teman sekelas mereka.

Pengaturan dan pengelolaan kelas ini sangat berperan penting dalam menciptakan proses pembelajaran yang efektif untuk mencapai kompetensi ideal para siswa.

Dua komponen lain yang mendukung kualitas pedagogik dalam proses pembelajaran adalah soal keyakinan dan professionalisme guru. Keyakinan guru tentang tujuan pembelajaran yang hendak dicapai, contoh dan visualisasi teori dalam bentuk empirik, merupakan bagian yang juga dalam beberapa konteks berkontribusi positif untuk peningkatan kualitas pembelajaran, seperti halnya profesionalisme guru, baik dalam konteks komunikasi sejawat, peer review maupun dengan pelibatan orang tua dalam mengawasi dan mendampingi para siswa belajar di rumah.

Seluruh komponen yang disampaikan Robert Coe dkk ini memosisikan pedagogik sebagai bagian yang sangat penting dalam mengembangkan proses pembelajaran agar menjadi the great teaching karena dapat memengaruhi hasil pembelajaran para siswa atau mahasiswa (students learning outcome).

Posisi pedagogik yang memberikan dukungan pada pokok bahasan dan proses pembelajaran secara utuh di dalam kelas menjadi komponen paling kuat pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas pembelajaran untuk mengoptimalkan hasil pembelajaran (learning outcome).

Sementara empat terakhir, baik classroom climate, classroom management, teacher belief maupun professional behaviours merupakan komponen pendukung bagi proses pelaksanaan pedagogi di dalam kelas.

Proses pembelajaran merupakan bagian integral dari kompetensi pedagogi yang harus dimiliki setiap pendidik, guru, dan dosen. Sudah merupakan keyakinan umum, bahwa pengelolaan proses pembelajaran harus dilakukan dan bahkan dikembangkan berbasis pengetahuan dan keterampilan karena tidak mungkin proses pembelajaran berhasil tanpa didukung pengelolaan yang cerdas.

Karena itu, setiap guru harus mengenal, memahami, dan meyakini pentingnya ilmu mengajar dan ilmu membelajarkan para siswa, termasuk mengapresiasinya dengan melatih diri masing-masing bagaimana membelajarkan para siswa dengan efektif, baik sebelum masuk kelas, selama di dalam kelas, maupun sesudah kelas.

Memang tingkat urgensinya berubah seiring meningkatnya kedewasaan dan integritas belajar para pembelajar sendiri. Demikianlah guru, tidak saja memilik sejumlah kompetensi (pedagogi, profesional, sosial, dan kepribadian), namun juga sebagai seorang bijak dan memandu muridnya dalam jalan menuju kebenaran. Seorang guru bukanlah pemberi kebenaran; dia adalah pemandu, penunjuk jalan menuju kebenaran yang mana harus ditemukan sendiri oleh muridnya.

Kebenaran itu merupakan simbol bagi suatu tempat suci yang berisi ilmu (ngelmu-Jawa) dan juga pembagi ilmu, sekaligus pemandu spiritual atau kejiwaan murid-muridnya.

Seorang murid datang ke kelas, bukan sekadar memperoleh ilmu pengetahuan, akan tetapi belajar menjadi bijak. Sebab kebijakan adalah mengerti dengan baik. Maka untuk menemukan kebijakan itu seorang guru harus bisa mendialogkannya dengan muridnya. Berikut dialog kebijakan antara guru dengan seorang murid.

Magistra (guru): Veni pauer discesapere (Datanglah kemari nak, belajarlah menjadi bijak).

Murid (Discipulus): Quit est Sapere? (Apa itu menjadi bijak?)

Magistra: Apereest  bene intelligere (Bijak adalah mengerti dengan baik)

Discipulus: Quit est quod bene intellegis? (Apa itu mengerti dengan baik?)

Magistra: Bene intelligere est esse civem bonum (Mengerti dengan baik ialah menjadi warga negara yang baik)

Discipulus: Quod est esse bonum civis? (Apa itu menjadi warga negara yang baik?)

Magistra: Cum sit bonus civis, est arbor fructifera (Menjadi warga negara yang baik ialah seperti pohon berbuah)

Discipulus: Quid arbor fructifera? (Seperti apakah pohon berbuah itu?)

Magistra: Arborem illam fructiferam, nunquam fructum delectabilem gustavit (Pohon berbuah itu, dia tidak pernah merasakan enaknya buahnya)

Discipulus: Quis gustavit fructum delectamentum? (Siapakah yang merasakan enak buah itu?)

Magistra: Non tu, sed societas (Bukan kamu, melainkan masyarakat)

Discipulus: Quis est societas? (Siapakah masyarakat itu?)

Magistra: Qui illustratione indigent, ministri veritatis fiunt (Mereka yang membutuhkan penerangan, Anda menjadi pelayan kebenaran).

Discipulus: Quid est ministerium veritatis? (Apa itu pelayanan kebenaran?)

Magistra: Servus veritatis est servien in lumine veritatis (Pelayan kebenaran ialah melayani dalam cahaya kebenaran).

Disciplus: Magistra, sapiens esse volo (Guru, aku ingin menjadi guru yang bijak)

Magistra: Sapiens discipulus es, missus es, servien in lumine veritatis, et fac te sicut arborem fructiferam, quam ipse non gustas delicium fructum. Alii sentient et fruentur tuo fructu. Noli altum sapere. Humilis et gratus esse debes (Engkau murid yang bijak, pergilah engkau diutus, melayani dalam cahaya kebenaran, dan jadikan dirimu seperti pohon berbuah yang engkau sendiri tidak merasakan enaknya buahmu. Biarkanlah orang lain yang akan merasakannya dan menikmatinya buahmu. Dan jangan engkau menjadi orang sombong. Hendaknya engkau menjadi orang rendah hati dan pandailah bersyukur)

Discipulus: Benedictus es, pater et mater magistra, et nomen tuum semper erit in historia. Magister signum est temporum, lux veritatis, vita memoriae, magistra vitae, nuntius saeculorum (Terpujilah engkau wahai bapa dan ibu guru, namamu akan selalu menyejarah. Guru adalah tanda zaman, cahaya kebenaran, kehidupan ingatan, guru kehidupan, utusan zaman).

Dialog tersebut membawa pesan moral sangat kuat pada pendidik sebagai jalan mencari kebenaran tetapi lebih dari itu melayani dalam cahaya kebenaran (servien in lumine veritatis). Jalan menuju kebenaran itu melewati hati, bukan kepala.

Maka jadikan hatimu, bukan kepalamu, pembimbingmu yang utama. Hadapkanlah ia, kau akan sampai. Hatimu itu ada dalam jiwamu. Pengetahuanmu tentang jiwamu akan mengantarkanmu mengetahui kebenaran itu. Selamat Hari Guru.

Tinggalkan Komentar Anda :