JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Drs Aloysius Renwarin, SH, MH, kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan, pihaknya sudah bersurat secara resmi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar ia diperiksa di Jayapura, Papua.
Aloysius dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu, menyampaikan permintaan kepada penyidik komisi antirasuah itu agar pemeriksaan terhadap dirinya selaku kuasa hukum Gubernur Enembe dilakukan pada Kamis (24/11 di Jayapura, tanah kelahirannya.
“Saya melakukan advokasi dan pendampingan hukum terhadap klien saya, Gubernur Papua Lukas Enembe, di Jayapura, Papua, maka saya meminta kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan proses pemeriksaan di Papua,” ujar Aloysius, anggota Tim Hukum & Advokasi Gubernur Papua (THAGP) melalui keterangan yang diterima Odiyaiwuu.com di Jakarta, Kamis (24/11).
Aloysius sebelumnya dipanggil sebagai saksi oleh KPK terkait penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji Lukas Enembe selaku Gubernur Papua masa tugas 2013-2018 dan 2018-2023 dalam urusan pekerjaan proyek bersumber APBD Provinsi Papua. Ia mengaku siap diperiksa penyidik namun dilakukan di Jayapura.
Aloysius menambahkan, sebelum melayangkan surat resmi ke KPK pihaknya juga sudah berkomunikasi melalui WhatsApp atau telepon langsung dengan Asep. “Pak Asep sudah mengiyakan permintaan saya untuk diperiksa di Jayapura,” ujarnya.
Berdasarkan persetujuan tersebut, ia mengaku membuat surat resmi kepada KPK melalui Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu terkait permintaan perpindahan lokasi pemeriksaan. “Sebagai advokat, saya kooperatif dan siap memberikan keterangan yang diperlukan,” imbuh Aloysius.
Jadwal pemeriksaan pada Kamis (24/11), merupakan pemanggilan kedua. Pada pemanggilan pertama, Aloysius berkirim surat ke KPK, meminta klarifikasi terlebih dahulu atas pemanggilan dirinya sebagai saksi dalam kasus kliennya tersebut.
Selain dirinya, KPK juga memanggil anggota THAGP lainnya, Dr Stefanus Roy Rening, SH, MH sebagai saksi. Roy mengaku, ia siap datang untuk diperiksa sebagai saksi.
“Kami akan hadir dalam panggilan pemeriksaan selanjutnya di gedung KPK. Sebagai warga negara yang baik dan advokat yang menjunjung tinggi supremasi hukum, kami akan datang, sebagai bukti ketaatan dan penghormatan kami atas hukum,” ujar Roy.
Meski demikian, Roy kembali mengingatkan KPK bahwa, sebagai advokat, mereka dijamin dan dilindungi secara hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
”Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan bahwa ’advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan’,” kata Roy.
Sebagai advokat, pihaknya mempunyai kewenangan melakukan pendampingan dan advokasi hukum terhadap kliennya, berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Advokat.
Dalam peraturan tersebut, ujar Roy, disebutkan bahwa ‘advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.’
Selain itu disebutkan, ‘jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.’
Roy menjelaskan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam permohonan perkara 26/PUU-XI/2013, semakin dipertegas hak imunitas advokat, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Pihaknya juga mempertanyakan pemanggilan mereka berdua sebagai saksi dalam kasus yang menjerat kliennya, Gubernur Enembe. Karena sebagai advokat yang menangani kasus hukum Gubernur Enembe, pihaknya mempunyai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan kliennya.
Hal tersebut tertera secara tegas dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang mengatur sebagai berikut. Pertama, advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
Kedua, advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik advokat.
Ketentuan tersebut, kata Roy, dipertegas dalam Pasal 4 huruf h Kode Etik Advokat Indonesia. Di situ dijelaskan bahwa ‘advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara advokat dan klien itu.’
“Jadi berdasarkan ketentuan tersebut, kewajiban menjaga kerahasiaan tersebut, bahkan diperluas, bukan hanya rahasia klien yang masih ditangani saja, namun terhadap bekas klienpun, advokat wajib merahasiakan informasi terkait kasus kliennya tersebut,” ujar Roy.
Secara umum, kata Roy, kewajiban menyimpan rahasia jabatan dan profesi secara umum, juga diatur dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP. Di sana disebutkan bahwa ‘mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka’.
Dilihat dari peraturan tersebut, kata Roy, advokat berhak untuk tidak memberikan keterangan atau kesaksian kepada polisi, kejaksaan atau pengadilan terkait dengan kerahasiaan kliennya. “Sehingga jelas advokat tidak bisa dihukum, jika tidak memberikan keterangan menyangkut kasus kliennya, justru advokat wajib melindungi rahasia kliennya itu,” tegas Roy. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)