Presiden Jokowi Kecam Kasus Mutilasi 4 Warga Papua dan Menilai Sebagai Tindakan Kejam dan Biadab
DAERAH  

Presiden Joko Widodo Kecam Kasus Mutilasi 4 Warga Sipil Papua

Para pembicara dalam diskusi virtual bertajuk Menguak Motif Kasus Mutilasi 4 Warga Sipil di Timika, Papua yang digagas Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Sabtu (24/9). Foto: Istimewa

Loading

SALATIGA, ODIYAIWUU.com — Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengecam kasus pembunuhan disertai mutilasi 4 warga sipil Papua asal Kabupaten Nduga yang dibunuh disertai dimutalisai di kawasan SP 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika, Senin (22/8).

“Kasus mutilasi ini sangat dikecam oleh Presiden. Kasus mutilasi oleh oknum anggota TNI tersebut merusak nama baik negara,” ujar Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan RI Theofransus Litaay Ph.D saat berlangsung diskusi secara virtual bertajuk Menguak Motif Kasus Mutilasi 4 Warga Sipil di Timika, Papua yang digagas Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Sabtu (24/9).

Presiden Jokowi, ujar Litaay, selain memberikan arahan dan instruksi terkait kasus tersebut juga sudah memerintahkan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa untuk mengusut kasus tersebut hingga tuntas. Panglima TNI sudah ke Papua dan berhasil menahan 9 orang pelaku dan sedang menjani proses hukum.

“Para pelaku dijerat KUHP Pasal 339 dan 340 dengan hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup. Mutilasi itu menurut saya adalah tindakan kejam dan biadab,” ujar Litaay yang juga akademisi Universitas Kristen Satyawacana Salatiga.

Tokoh masyarakat Papua Paskalis Kossay saat tampil dalam diskusi tersebut mengatakan, masalah mutilasi di Timika tak lepas dari rentetan kasus kemanusiaan di seluruh wilayah tanah Papua sejak tahun 1961. Pembunuhan, pembantaian, dan penyiksaan sudah berlangsung lama. Parahnya, oknum pelaku tidak merasa takut dan ragu untuk menghabisi nyawa orang Papua.

“Presiden Joko Widodo dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa harus serius menyelesaikan persoalan mutilasi 4 warga sipil Papua. Hal ini penting karena kasus ini sudah menjadi sorotan Perserikatan Bangsa Bangsa. Solusi yang ditawarkan adalah para pelaku baik oknum anggota TNI maupun warga sipil. 6 orang anggota TNI harus dipecat terlebih dahulu agar mereka semua diadili di pengadilan umum, bukan Pengadilan militer,” kata Paskalis, mantan anggota Komisi Intelijen DPR RI asal Papua.

Menurut Paskalis, berkaca dari kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay dan kasus pembunuhan di Paniai, proses peradilan melalui Pengadilan Militer tidak memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban. “Kasusnya malah ditutup-tutupi dan hukuman yang diberikan jauh dari keadilan,” ujar Paskalis.

Kordinator Tiki, Jaringan HAM Perempuan Papua Fientje Jarangga mengaku, suara hati mama-mama Papua sebagai korban kekerasan berlapis sejak tahun 1960-an sampai saat ini. Kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap orang asli Papua berlanjut secara masif dan tidak ada proses penyelesaian yang adil dan transparan.

“Mama-mama yang punya anak dan suami korban penyiksaaan dan pembunuhan. Apesnya, mereka tidak mendapat keadilan hukum sehingga meninggalkan trauma dan kekecewaan yang mendalam atas perlakuan perangkat negara,” kata Fientje.

Fientje menambahkan, suara hati mama-mama Papua di Timika itu menginginkan pengadilan terbuka dilakukan di Papua. Karena itu, pihaknya mendesak semua pihak untuk memperhatikan dengan serius Keppres 17 tahun 2022. Juga Ranperdasus yang sedang dirancang bahwa jangan sampai pelanggaran HAM berat masa lalu dan kekerasan lainnya, penyelesaiannya non judicial.

Wakil keluarga korban mutilasi, Otis Tabuni, SH juga menuntut agar proses hukum terhadap pelaku mutilasi dilakukan di Timika dan terbuka untuk umum. Pihak keluarga korban, lanjut Otis, juga menuntut agar pelaku mutilasi dihukum mati agar memberikan rasa adil bagi keluarga korban, terutama anak-anak dan istri korban.

“Kami keluarga korban juga mendesak Komisi HAM PBB untuk membentuk tim investigasi guna membongkar tabir kejahatan di tanah Papua sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Kasus mutilasi 4 warga sipil ini menjadi pintu masuk membongkar berbagai kasus kejahatan kemanusiaan lainnya yang selama ini ditutup-tutupi,” ujar Otis.

Pengurus Pusat Pemuda Katolik Dr Laurensius Arliman mengatakan, kasus mutilasi di Timika merupakan peristiwa hukum dan HAM luar biasa. Penghormatan, perlindungan, pemenuhan, pemajuan dan penegakan HAM menjadi tanggung jawab institusi negara, tak terkecuali TNI.

“Saya amati kasus ini ada semacam penghalang-halangan dari pihak institusi pelaku. Saya meminta proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Polisi Militer dan Komnas HAM harus transparan dan berkedilan. Saya mengusulkan agar Komisi 1 DPR membentuk tim guna mengawal kasus ini hingga tuntas dan memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban,” katanya.

Kepala Perwakilan Komnas HAM Provinsi Papua Frits Bernard Ramandey saat itu melaporkan sejumlah temuan lapangan terkait kasus mutilasi 4 warga sipil tersebut. Kasus ini, diakuinya, sudah ada perencanaan kejahatan sejak tanggal 18-19 Agustus 2022 sebelum korban dibunuh dan dimulitasi pada 22 Agustus 2022.

“Kasus ini termasuk pembunuhan berencana. Proses mutilasi tidak dilakukan secara terburu-buru dan pemilihan lokasi pembunuhan juga di tempat yang aman karena mereka sangat profesional.  Dari bukti-bukti komunikasi visual sangat meyakinkan bahwa mereka melakukan hal yang sama lebih dari satu kali,” kata Ramandey.

Oleh karena itu, urainya, proses perampokan dan selanjutnya mutilasi dilakukan secara profesional. Ada motif yaitu motif bisnis solar, kejahatan-perampokan, dan pengkondisian untuk melegalkan kehadiran pihak institusi tertentu di Timika.

Sekretaris Jendral Pengusu Pisat Pemuda Katolik Johanes SM Sitohang dalam sambutanya dalam diskusi tersebut mengatakan, kasus mutilasi 4 warga sipil Papua merupakan perbuatan sadistis dan merendahkan harkat serta martabat manusia.

“Saya berharap agar kader-kader pemuda Indonesia bahu-membahu mengawal kasus tersebut dengan kontribusi nyata, tidak sekadar menjadi follower,” ujar Sitohang.

Ketua Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik Melkior NN Sitokdana di akhir sesi diskusi juga mengajak para pemuda Indonesia untuk mengawal kasus mutilasi tersebut hingga para keluarga korban mendapatkan keadilan hukum.

“Kasus mutilasi di Timika lebih sadis dan berbahaya dibanding kasus Sambo. Saya berharap agar Presiden, DPR RI, Polisi Militer dan Komnas HAM bahu-membahu menyelesaikan kasus tersebut secara transparan dan berkeadilan. Keseriusan pemerintah terhadap kasus di Timika sedikit-demi sedikit menambah kepercayaan masyarakat terhadap negara,” kata Sitokdana, akademisi Universitas Satya Wacana Salatiga dan putra asli Papua dari Pegunungan Bintang, Papua. Diskusi dipandu wartawati Suara Perempuan Papua, Alfonsa Wayap. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :