Sekarang Yakobus Odiyaipai Dumupa atau biasa disapa YOD, penulis buku “Ungkapan Kegelisahan : Catatan Harian 2012” ini adalah seorang yang menjabat sebagai Bupati Kabupaten Dogiyai-Papua. Namun, hal yang harus selalu diingat saat membaca buku ini adalah YOD adalah seorang penulis dan intelektual yang telah menulis dan menerbitkan buku sejak mahasiswa dan hingga kini hampir belasan buku telah ditulis dan diterbitkannya.
YOD sebagai penulis dan intelektual penting diungkapkan di awal ulasan buku ini untuk dapat menjawab beberapa pertanyaan saat buku ini hendak dibaca.
Pertama, sesuai judul buku “ungkapan kegelisahan”, pertanyaan yang bisa selalu muncul adalah, apa yang digelisahkan oleh seorang Bupati atas kabupatennya sehingga ia harus menuliskan buku ini?
Ternyata pertanyaan itu tidak begitu penting karena tulisan dalam buku ini merupakan tulisan 8 tahun lalu saat penulis belum menjabat Bupati atau lebih tepatnya saat penulis menjabat anggota Majelis Rakyat Papua (MRP). Tapi jabatan sebagai anggota MRP pun tidak cukup menjawab hadirnya buku ini, lantaran jauh sebelumnya YOD dikenal sebagai intelektual.
Barangkali pertanyaan yang tepat adalah mengapa tulisan dalam tahun 2012 dianggap layak diterbitkan saat ini? Di sinilah posisi penulis sebagai intelektual, yang mencintai buku, dengan kebiasaan menulis, membaca dan dokumentasi mendapat pembenarannya.
Kebiasaan inilah yang membuatnya menganggap tema-tema yang ditulisnya tahun 2012 dianggap masih relevan untuk diperhatikan, ataupun ia yakin bahwa tulisan itu merupakan bacaan penting untuk melihat perkembangan masyarakat.
Kedua, sesuai judul buku “Ungkapan Kegelihan”, pertanyaannya adalah apa yang digelisahkan? Bukankah lebih baik menulis judul yang terbilang serius agar segera mendapat perhatian khalayak pembaca?
Sebagai seorang penulis dan intelektual yang ada padanya adalah kegelisahan. Pada mulanya adalah kegelisahan dan kegelisahan inilah yang mendorongnya untuk menulis, menerbitkan dan barangkali di kemudian hari ia memilih menjadi bupati dari satu kabupaten pemekaran ini. Berumula dari kegelisahan, mempengaruhi seluruh tindakannya. Itulah posisi intelektual sesungguhnya.
Ketiga, kalau benar jalan intelektual yang dipilihnya sejak mahasiswa, yang berputar-putar mendekati realitas termasuk kerumunan, dan kembali pada jalan sunyi untuk merefleksikan, maka pertanyaannya, apa yang menjadi kegelisahan YOD?
Tema yang diangkat dalam catatan harian 2012 ini banyak menyinggung soal kebiasaan hidup masyarakat yang dinilainya sudah menyimpang dari budaya dan agama. Persoalan minum keras, kebiasaan merokok tanpa penghasilan tetap, perjumpaan dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang cenderung tanpa reflektif dan argumentatif, dan banyak hal yang lain.
Soal lain yang dijumpai dalam masyarakat dijadikan refleksi yang cukup baik terutama menyangkut sepak bola, HIV AIDS, masyarakat adat, makanan lokal, gereja dan agama, pendidikan, kesehatan termasuk masalah kerja dan pengangguran.
Ia juga mengangkat soal-soal politik, seperti masalah-masalah yang terjadi di komisi pemilihan umum jelang dan sesudah pemilihan, masalah pembangunan, juga masalah-masalah nasional dan dunia yang lekat berhubungan dengan kehidupan masyarakat Papua.
Dari rokok, budaya dan segala macam.Ruang lingkup tulisannya sangat luas dan melingkupi hampir segala aspek kehidupan manusia, baik manusia dalam konteks personal,dan kolektif baik sebagai orang asli Papua, warga negara Indonesia, dan warga dunia. Semua itu ditulis dengan bahasa yang sederhana, kritis dan jujur penuh dengan nuansa dialog dan kadang diselipkan dengan humor.
Membaca buku ini semakin membenarkan bahwa YOD yang sekarang Bupati Dogiyai adalah seorang pemimpin dari kalangan intelektual. Pada mulanya adalah kegelisahan sebagai pilihan intelektual, kemudian membuka jalan baru untuk memilih jalan politik dalam menjawab kegelisahan itu.
Posisi ini tidak salah jikalau pembaca meluangkan sedikit waktu untuk membaca kata pengatar yang ditulis Prof. Sutoro Eko, yang mewacanakan konteks buku ini dalam hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Prof Sutoro memberi judul pengantarnya “Emansipasi, Pengetahuan dan Kekuasaan”. Ia memperdebatkan posisi kekuasaan dan pengetahuan yang terdapat dalam buku ini.
Dituliskan Prof Eko bahwa : “Kekuasaan demokratis mengarahkan pengetahuan agar ilmu memuliakan manusia, rakyat dan warga. Sebaliknya kekuasaan yang demokratis juga membutuhkan pengetahuan agar pemikiran besar bisa dijelaskan secara sederhana dan dijalankan secara nyata, sehingga kemanusian, kerakyatan dan kewarganegaraan tidak hanya menjadi retorika dan ilusi politik belaka”.
Namun untuk mewujudkan chemistry antara kekuasaan dan pengetahuan itu menurut Prof Sutoro tidak mudah. Kekuasaan seringkali berpura-pura merakyat tetapi tetap anti pengetahuan. “Pemimpin populis selalu bekerja keras dan budiman agar dicintai rakyat dengan cara membuat kebijakan yang menyenangkan rakyat, tetapi sebenarnya tidak menolong rakyat,” tulis Prof Sutoro.
Namun ada masalah yang dijumpai dalam sebutan tentang pengetahuan yang juga harus menjadi catatan. Prof Sutoro menulis : ” Pengetahuan tentu bukan sekedar penggunaan data dan teori secara obyektif/netral seperti petuah kaum positivisme dan dikerjakan oleh teknokrat, tetapi pengetahuan juga mengandung nilai, kebajikan, dan cara pandang yang berpihak pada manusia dan rakyat, dengan landasan agama, filsafat, etika, bahkan juga budaya.”
Dari uraian tentang kebutuhan akan pengetahuan yang menemani kekuasaan, serta posisi yang diambil oleh penulis buku ini, menjadi jelas bahwa buku ini relevan dibaca oleh siapa saja untuk memahami masyarakat dimana dalam masyarakat itu juga ada kekuasaan yang menentukan kehidupan mereka.
Tentu saja sudah banyak buku tentang Papua yang membahas tema-tema besar tentang masyarakat dengan metodologi yang terukur. Yang kurang adalah buku yang menggambarkan realitas hidup masyarakat, dengan bahasa yang sederhana.
Buku ini menjawab hal yang terakhir. Kendati dari segi bentuk fisik buku, terlihat sangat serius, buku ini mestinya dibaca dalam suasana santai yang tidak diburu waktu. Dalam suasana semacam ini pembaca menemukan hal-hal yang sederhana dari kehidupan yang kadang membuat kening berkerut, tapi kadang memunculkan rasa tawa yang sulit dibendung. Kritik tidak mesti dihadapi dengan argumentasi dan tindakan yang terlampau serius tapi juga bisa diungkapkan dalam bentuk humor, tanda bahwa manusia masih mampu mengatasinya.
Buku ini menarik untuk masyarakat yang dibicarakan dalam buku ini, Papua dan Dogiyai tentu saja, tapi jauh lebih dari itu bagi siapa saja yang mencintai martabat manusia, daulat rakyat dan kecerdasan kewarganegaraan.
Terakhir, perlu disinggung kata akhir dari YOD pada pengantar yang ditulisnya: ”Tulisan-tulisan dalam buku saya yang ke-11 (sebelas) ini merupakan bagian dari upaya “memuliakan Tuhan,” menghormati sesama manusia, dan menghargai alam semesta”.
Pernyataan terakhir itu mengingatkan kita pada kata-kata pujangga Alanus yang dikutip Umberto Eco, ” Semua makhluk di dunia bagaikan buku dan gambar. Kaca Cermin bagi kita.”
Sumber: www.tiffanews.com
Penulis: Benjamin Tukan